Negara (dan) Islam: Disekitar Polemik Soekarno dan Natsir

Judul: Polemik Negara Islam: Soekarno vs Natsir

Penulis: Ahmad Suhelmi

Penerbit: UI Press, 2012

Tebal: xix + 196 halaman; ISBN: 978-979-456-461-5

Meskipun sudah ada “gentlemen agreement” antara “kelompok nasionalis” dan “kelompok agama” yang memperdebatkan relasi antara negara dan Islam dalam penyusunan dasar negara,[1] polemik tentang negara Islam tidak pernah selesai. Dalam diskursus politik Islam kontemporer, wacana ini masih diperdebatkan oleh sejumlah kelompok yang bisa dikelompokkan ke dalam dua golongan, yaitu Islam liberal dan Islam literal. Kelompok Islam liberal merupakan transformasi dari gagasan-gagasan sekularisasi Nurcholish Madjid. Kelompok ini terutama diwakili oleh intelektual-intelektual muda Islam seperti Ulil Abshar Abdalla, Luthfi Assyaukanie dan Akhmad Sahal yang tergabung dalam Jaringan Islam Liberal.

Hadirnya gerakan Islam liberal menurut Luthfi merupakan upaya untuk menyikapi persoalan Islam dan negara, Islam dan hak-hak sipil, dan Islam dengan kebebasan individu serta Islam dengan persoalan modern lainnya. Dalam membahas antara relasi antara negara dan Islam, Luthfi meyakini bahwa tidak ada ketentuan dan kewajiban dari ajaran Islam secara spesifik tentang pemerintahan manusia, urusan negara semata-mata adalah urusan duniawi manusia (hal. 153). Selain itu penafsiran Ulil dalam sebuah artikelnya yang kontroversial di Kompas mempertanyakan yang namanya penerapan hukum tuhan dalam pemerintahan.

Ulil menyatakan “tidak ada yang dinamakan “hukum tuhan” seperti yang dipahami kebanyakan orang Islam. Misalnya, hukum Tuhan tentang pencurian, jual beli, pernikahan, pemerintahan, dan sebagainya. Yang ada adalah prinsip-prinsip umum yang universal yang dalam tradisi hukum Islam klasik disebut maqashidusy syari’ah, atau tujuan umum syariat Islam”.[2] Perdebatan tentang relasi antara negara dan Islam ini kemudian ditanggapi oleh kelompok Islam literal, beberapa tokohnya, yaitu Adian Husaini, Hartono Ahmad Jaiz, dan pada tingkat advokasi praktis ada Ja’far Umar Thalib dan Habib Rizieq. Mengenai pendirian negara Islam, Adian Husaini berdasarkan perspektif historis melihat bahwa penerapan negara Islam pernah dilakukan oleh negara Madinah yang memiliki konstitusi pertama di dunia – piagam Madinah. Pada saat itu, Nabi Muhammad sudah bertidak sebagai kepala negara yang menjalankan syariat Islam bukan hukum adat terhadap seluruh warga negara.

Polemik mengenai relasi agama dan negara yang masih terjadi hingga saat ini secara genealogis merupakan turunan dari polemik yang pernah diperdebatkan oleh dua orang tokoh pendiri bangsa, yaitu Soekarno dan Natsir. Polemik yang dihadirkan berawal dari tulisan-tulisan Soekarno di Panji Islam pada tahun 1940 yang kemudian ditanggapi oleh Natsir. Soekarno dianggap mewakili golongan nasionalis sekuler dan Natsir dianggap mewakili golongan nasionalis islami. Golongan nasionalis sekuler dianggap mewakili pandangan bahwa negara mesti dipisahkan dari agama karena doktrin-doktrin agama dianggap tidak bisa menyelesaikan permasalahan negara yang kompleks. Agama itu perlu dalam negara namun hanya lebih kepada urusan-urusan ritual bukannya kebijakan. Golongan nasionalis islami sebaliknya justru percaya bahwa penyatuan unsur agama dan negara adalah sebuah kewajiban karena unsur-unsur agama berkaitan dengan persoalan-persoalan negara. Ada semacam keyakinan bahwa agama itu bukan hanya mengatur relasi antara Tuhan dan manusia, namun juga hubungan manusia dan manusia dalam sebuah struktur politik bernama negara.

Orientasi Islam Soekarno

Dalam mendeskripsikan Soekarno, Clifford Geertz mengatakan bahwa Soekarno adalah representasi Indonesia. Dengan warisan dari tradisi Polynesian, India, Islam, China dan Eropa, Indonesia mungkin tempat dengan paling banyak simbol daripada tempat luas lain di dunia, dan ini semua seolah ada di Soekarno, orang yang “melengkapi untuk memasang simbol-simbol tersebut ke dalam republik yang baru terbentuk”.[3] Pandangan lain diberikan oleh George McT Kahin yang mengatakan bahwa Soekarno adalah orang yang mempunyai bakat unik yaitu dapat mensikretiskan konsep Barat dan Islam dengan konsep mistisisme Jawa dan bisa menerjemahkannya dalam istilah yang bisa dimengerti sekalipun oleh kalangan petani.[4]

Pembentukan pemikiran yang melatarbelakangi Soekarno dipengaruhi oleh proses perjalanan politiknya dan pembacaannya atas berbagai macam aliran yang ada di Indonesia dan dunia. Keputusan Soekarno untuk tinggal dengan Tjokroaminoto di Surabaya, seorang pemimpin kharismatis Sarekat Islam, berdampak begitu besar dalam perjalanan intelektualnya. Di dalam rumah Tjokroaminoto tersebut selain dirinya tinggal Alimin, Musso, Semaun dan Kartosuwiryo. Soekarno mendapat kamar yang tersisa paling belakang sedangkan Alimin dan Musso mendapat kamar di bagian lebih depan karena datang terlebih dahulu. Saat berada di rumah Tjokro ini, beberapa tokoh intelektual awal pergerakan Indonesia sering bertandang di rumah ini, mulai dari Agus Salim, Soewardi Suryaningrat sampai Ahmad Dahlan. Perjumpaan intelektual dengan berbagai pemikiran mulai dari islamisme, sosialisme, nasionalisme sampai marxisme saat usianya masih belasan tahun tersebut membentuk kesadaran politiknya. Namun, gagasan Islam yang masih diresapi Soekarno pada tahap ini belum mengarah kepada mengkaji Islam secara profesional. Sebab Tjokroaminoto merupakan representasi seorang tokoh politik daripada seorang faqih atau ulama. Sehingga pemikirannya tentang Islam lebih kepada Islam sebagai senjata perjuangan bukannya masalah aqidah, syariah atau fiqh.

Setelah meresapi pemikiran-pemikiran sosialisme Islam Tjokroaminoto, Soekarno berpindah tempat ke Bandung untuk melanjutkan pendidikannya di Sekolah Teknik Tinggi. Disinilah ia mulai serius mendalami pemikiran dan terpengaruh ideologi nasionalis dan marxis. Pandangan yang merubah Soekarno datang dari dua orang, yaitu Douwes Dekker dan Tjiptomangoenkusumo. Douwes Dekker, pendiri Indische Partij, dalam sebuah ceramah malam hari di bulan Maret 1923 yang biasa dihadiri oleh mahasiswa termasuk Soekarno, berseru kepada para mahasiswa untuk tidak terlalu larut dalam studi mereka dan lebih memberikan perhatian kepada usaha membebaskan negeri mereka.[5]

Dekker dikenal sebagai seorang revolusioner yang membela Tjiptomangoenkusumo dan Soewardi Suryaningrat saat keduanya bekerjasama menerbitkan pamflet yang menggemparkan Hindia Belanda tahun 1913 berjudul “Als ik een Nederlander was”. Pamflet yang ditulis Soewardi ini merupakan sebuah kritikan pertama kalinya bagi pemerintah Belanda dari kalangan cendekiawan Indonesia. Menurut Savitri Scherer sifat eksplosif dari tulisan ini “bukan semata-mata karena nada provokatifnya melainkan karena implikasi-implikasi politiknya yang lebih luas”.[6] Sedangkan Tjiptomangoenkusumo yang dikenal sebagai pembenci aristokrasi Jawa dan dianggap pembangkang oleh pemerintah Belanda mempunyai pandangan politik tentang nasionalisme Indonesia.

Dia mempunyai keprihatinan terhadap penderitaan rakyat Hindia Belanda akibat kolonialisme. Pemikirannya menurut Shiraishi dapat dibingkai dalam empat hal penting (1) ia mempersoalkan kesejahteraan di Hindia Belanda (2) persoalan kemajuan di Hindia Belanda semata-mata bukan hanya masalah pendidikan Barat tapi tentang politik dan moral (3) ia menempatkan masalah kemajuan Hindia tidak hanya dalam politik evolusioner tetapi juga politik revolusioner (4) karenanya bagi Tjipto membangkitkan “semangat perlawanan” merupakan kunci menuju pembangunan yang sehat bagi negeri ini.[7]

Dari ketiga serangkai yang dibuang oleh pemerintah Belanda ini ke Belanda, pemikiran Dekker dan terutama Tjipto tentang “persatuan” melandasi kerangka intelektual Soekarno selanjutnya. Pada tahapan yang disebut oleh Dahm sebagai “fase nasionalis” 1926-1931, Soekarno menempatkan nasionalisme sebagai pandangan politiknya yang utama walaupun ia sedikit banyak juga terpengaruh oleh marxisme. Pada periode 1920an, alam politik Indonesia diwarnai oleh tiga aliran besar, yaitu nasionalisme, islamisme dan komunisme. Masing-masing aliran walaupun dalam gagasan besar yang sama yaitu perlawanan terhadap penjajahan di Indonesia namun mempunyai jalan politiknya sendiri-sendiri. Hal inilah yang dipandang Soekarno secara kritis. Menurutnya yang terpenting bukan perjuangan atas masing-masing aliran pemikiran namun mewujudkan front persatuan dari perbedaan-perbedaan ideologi untuk mencapai Indonesia yang merdeka. Dalam artikelnya yang fenonemal “Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme” tahun 1926 Soekarno secara kritis menyatakan:

“Partai Budi Utomo “marhum”, National Indische Partij yang masih hidup, Partai Sarekat Islam, Perserikatan Minahasa, PKI dan masih banyak partai lain, itu masih mempunyai roh nasionalisme, roh islamisme atau roh marxisme. Daparkah roh-roh ini dalam politik jajahan bekerjasama dalam roh yang besar, roh persatuan? Dapatkah dalam tanah jajahan pergerakan nasionalisme dirapatkan dengan pergerakan islamisme yang hakekatnya tiada bangsa dengan pergerakan marxisme yang bersifat perjuangan internasional? Dapatkah islamisme itu bekerja sama dengan nasionalisme yang mementingkan bangsa dengan materialisme marxisme yang mengejar perbendaan? “[8]

Bernhard Dahm sebagai penulis biografi kritis pemikiran Soekarno gelombang pertama terkejut dengan upaya Soekarno yang dapat melihat persamaan ataupun sisi kerjasama dari tiga ideologi yang saling bertentangan ini.[9] Dahm sampai berkesimpulan bahwa sinkretisme Jawa Soekarno yang melihat fenomena sebagai kesatuan merupakan latar belakang pemikiran tersebut. Dalam tulisannya tentang power dalam kebudayaan Jawa, Ben Anderson berpendapat “kesatuan sendiri dalam konsep Jawa adalah central symbol of power”.[10]

Namun, Onghokham dan Taufik Abdullah melihat dengan sudut pandang berbeda. Onghokham menduga bahwa kreativitas pemikiran Soekarno lebih menekankan pada front nasional atau front anti-penjajahan sedangkan Taufik Abdullah lebih melihat bahwa Soekarno dalam tulisan ini tidak ingin melihat penekanan landasan dari tiap-tiap ideologi tapi “tabiat” dan tujuan sosial politik mereka.[11] Tabiat Islam adalah tabiat sosialistis dan tujuan politik Islam adalah mewujudkan masyarakat yang berkeadilan tidak jauh berbeda dari golongan nasionalis ataupun marxisme.

Dalam fase selanjutnya tahap marhaenis (marxis) 1932-1933, Soekarno memperkenalkan konsepsinya yang baru bernama marhaenisme atas pengaruh dialognya dengan seorang petani. Sebelumnya kata ini tidak dikenal sama sekali dalam kamus politik Indonesia. Orang-orang mendengar kata ini dalam pidato pembelaan Soekarno saat menjelaskan tentang imperialisme Belanda terhadap masyarakat Indonesia yang menurutnya khas masyarakat wong cilik, “ia adalah pergaulan hidup yang terdiri dari kaum tani kecil, kaum buruh kecil, kaum pedagang kecil, kaum nelayan kecil pendek kata kaum kromo dan kaum marhaen yang apa-apanya kecil”.[12]

Asas-asas pemikiran marhaenisme ini diwujudkan dalam tesis sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi setelah dengan kritis Soekarno menelanjangi sejarah demokrasi, kapitalisme dan borjuasi Barat. Pada masa inilah pemikiran Soekarno tentang Islam ditinggalkannya dibelakang, Islam pada taraf ini bukan dipandang sebagai landasan tapi perjuangan mewujudkan kemerdekaan bagi kalangan Islam dan Kristen. Walaupun dia pernah menulis tentang persatuan antara nasionalisme, islamisme dan marxisme dia tetap menekankan pada perjuangan dari diri sendiri “jangan menanti bantuan dari kapal Moskow atau khalifah Istanbul”.[13]

Menjelang tahun 1940, saat dirinya dibuang ke Endeh, Flores, tahun 1934 Soekarno yang merasa kesepian menderita kesunyian lahir dan kesunyian batin. Pada tahap 1934-1941 (islamis) inilah Soekarno melakukan pertobatan dan mempelajari Islam secara serius. Pertemanannya dengan Ahmad Hassan, seorang tokoh Persis yang begitu dihormatinya membawa kesan tersendiri yang terdalam terhadap ajaran-ajaran Islam. Saat diasingkan inilah Soekarno sering meminta Hassan mengirimkan buku dan brosur tentang Islam seperti: Pengajaran Shalat, Utusan Wahabi, A Muchtar, Debat Talqien, Al Burhan, Shahih Buchari. Tapi bukannya Soekarno bila ia menerima suatu ajaran begitu saja, ia malah berdialog dengan kritis dengan buku tersebut termasuk dengan Hadits Bukhori yang sahih. Dalam suratnya yang ketiga kepada Hassan ia mengatakan bahwa “Hadits yang daif dan palsu membuat dunia Islam menjadi mundur, agama Islam menjadi diliputi oleh kabut-kabut kekolotan, ketakhayulan, bid’ah dan antirasionalisme. Padahal tidak ada agama yang lebih rasional daripada Islam”.[14] Akibat suratnya yang provokatif, Hassan menegur Soekarno bahwa yang dilakukannya tersebut termasuk bid’ah. Di suratnya yang kesembilan Soekarno dengan bahasa yang santun berbicara bahwa dirinya bukan mempermasalahkan kesahihan Hadits namun menurutnya “bukan saja Islam harus kembali kepada Quran dan Hadits tetapi kembali kepada Quran dan Hadits dengan “mengendarai kendarannya pengetahuan umum”.[15]

Kemudian saat dipindahkan ke dalam pengasingan di Bengkulu, Soekarno menjadi keranjingan menekuni pemikiran modernisme Islam yang mendukung pada kebebasan berpikir dan rasionalisme dalam mengkaji agama. Pemikiran modernis Soekarno tercermin saat ia dan istrinya protes meninggalkan rapat Muhammadiyah di Bengkulu, karena dipisahkan antara laki-laki dan perempuan menggunakan tabir. Dalam wawancaranya kepada Antara yang dimuat Pandji Islam Soekarno berkata bahwa Islam pada batinnya menyuruh laki-laki dan perempuan menjaga pandangannya, namun tidak diperintahkan bertabir! Masing-masing sudah bisa menjaga hati dan matanya sendiri-sendiri. Selanjutnya Soekarno menyatakan bahwa penggunaan tabir merupakan simbol perbudakan terhadap kaum perempuan. Perenungannya terhadap pemikiran-pemikiran modernisme Islam selama di pengasingan pada akhirnya mempunyai pengaruh luas di kalangan intelektual Islam.

Orientasi Islam Natsir

George McT Kahin, yang kenal dekat dengan Moh. Natsir, dalam artikel obituarinya mengatakan bahwa “Natsir tidak diragukan lagi merupakan pemikir sekaligus politisi Islam paling berpengaruh sejak era postwar di Indonesia. Dari sifatnya yang sangat rendah hati dan bersahaja, dia mempunyai reputasi yang baik pada integritas dan kejujurannya dalam berpolitik”.[16] Sedangkan dalam tipologi yang dibuat Deliar Noer, “Islam tradisionalis” dan “Islam modernis” Natsir merupakan tokoh utama dalam pergerakan modernisme Islam. [17] Meskipun begitu, Natsir dikenal sebagai pribadi sederhana. Saat dia menyerahkan jabatan sebagai Perdana Menteri dia pulang ke rumah dengan dibonceng sepeda oleh asistennya. Bahkan saat dia menjabat sebagai PM, menurut pengakuan Kahin, bajunya hanya punya satu dan itupun dipakai melulu dalam setiap pertemuan kenegaraan. Dalam taraf posisinya sebagai PM, Kahin hanya terheran-heran melihat kesederhanaan yang ditampilkan Natsir.

Natsir lahir di Alahan Panjang sebuah tempat yang mempunyai nuansa religius yang kental. Alam Minangkabau pada awal abad ke-20 merupakan persinggungan dua gerakan besar Islam, di satu sisi dalam aspek fundamentalis, gerakan yang ingin memurnikan kembali ajaran Islam dan dalam aspek modernis, gerakan yang berusaha menyediakan religious basis untuk perubahan sosial.[18] Dalam pandangan Allan Samson, gerakan-gerakan Islam terutama purifikasi Islam lebih berada dalam tanah Sumatera dan Sulawesi Selatan daripada Jawa, dimana pertumbuhan kultural dari percampuran animisme, Brahmanisme, Budhisme menipiskan nilai-nilai dari Islam.[19] Selain itu, gerakan modernisme Islam yang banyak dipengaruhi oleh gerakan pembaruan Islam Mesir, diantara tokoh-tokohnya Muhammad Abduh dan Muhammad Rasyid Ridha, mewarnai pemikiran kaum islamis Sumatera Barat untuk menolak adat-adat yang tidak sesuai dengan pemahaman Islam.

Gerakan ini walaupun menimbulkan perubahan positif di kalangan beragama Minangkabau namum sempat menimbulkan distorsi identitas dalam masyarakat Minangkabau. Perjumpaan intelektual dengan berbagai aliran gerakan Islam di tempat kelahirannya, membuat Natsir mempunyai latar belakang yang agak berbeda dengan Soekarno.

Pergumulannya dengan Islam berlanjut ketika dia memasuki pendidikan tingkat lanjut MULO meskipun bersifat sosial edukatif. Dia bergabung dengan Jong Islamieten Bond cabang Padang yang melahirkan tokoh-tokoh politik Islam terkenal di masa depan seperti Moh. Roem, Prawoto Mangkoesasmito dan Jusuf Wibisono. Sehabis selesai di MULO dia melanjutkan di AMS yang prestisius di Bandung, disinilah dia mulai mendalami pemikiran-pemikiran Barat namun juga mendalami sejarah peradaban Islam. Saat baru berusia 21 tahun dia telah menguasai bahasa Belanda, Arab, Inggris, Perancis dan Latin. Semasa di Bandung inilah dia semakin intens melakukan perjumpaan intelektual dan terpengaruh modernisme Islam.

Mula-mula dia bergabung dengan Persatuan Islam (Persis) yang dipimpin oleh Ahmad Hassan, Haji Zamzam, Haji Muhammad Yunus yang mendirikan organisasi ini setelah sering bertemu dalam pertemuan-pertemuan membahas keagamaan. Perkenalannya dengan Hassan, tokoh yang dikagumi pula oleh Soekarno, sedikit banyak mempengaruhi alam pemikiran Natsir tentang gerakan modernisme Islam. Hassan adalah orang militan yang mendukung prinsip-prinsip Islam melalui pamflet-pamflet, tulisan dan brosur. Pada Persis inilah Kahin beranggapan bahwa Natsir mendapatkan dua hal penting, yaitu (1) Islam sebagai sistem sosial dan politik (2) Islam sebagai penyebar pengaruh mendalam di kalangan pedesaan.[20] Satu tahun setelah bergabung dengan Persis, dia bergabung dengan Jong Islamieten Bond Bandung yang dinahkodai oleh Agus Salim. Dalam organisasi ini ia belajar tentang politik dari mempelajari pidato politik dan tulisan-tulisan Agus Salim.

Ada dua figur pemikir Islam non-Indonesia yang begitu mempengaruhi pemikiran Natsir, yaitu Muhammad Abduh dan Muhammad Rasyid Ridha.[21] Pemikiran Natsir mendapatkan pencerahan dari Abduh yang melihat Islam secara intrepretatif agar bisa mengikuti perubahan namun tetap dalam batas-batas yang wajar. Gagasan Abduh yang begitu mengilhami Natsir adalah Islam sebagai social system, social values dan social justice. Sedangkan Ridha yang merupakan murid Abduh melihat Islam mesti ditegakkan dalam sebuah sistem negara, dalam pandangan politiknya perlu adanya pembentukan kembali sistem kekhilafahan dalam Islam.[22] Walaupun Natsir secara tidak kaku menginginkan kembali pembentukan khilafah Islam namun pemikiran Ridha tentang penyatuan antara Islam dan negara diterimanya masak-masak. Dua pemikiran ini yang begitu banyak berkelindan dalam pusaran pergulatan intelektual Natsir sebagai pemikir Islam. Sehingga menjadi gamblang saat ia mengkritik Soekarno tentang masalah rasionalisme dalam Islam. Natsir walaupun mendukung relasi antara rasio dan Islam, namun menilai bahwa rasionalisme Soekarno kebablasan, dia berpendapat:

“Akal merdeka dapat memperkuat dan memperteguh iman kita, akal merdeka dapat membersihkan agama dari kutu-kutu yang berbahaya dan bertentangan dengan agama, tapi akal merdeka pandai pula membongkar tiang-tiang agama itu melemparkan hudud dan melangkahi batas…agama datang untuk mengalirkan akal menurut aliran yang benar, jangan melantur kesana kemari , merompak pagar dan pematang, Islam bukan datang melepaskan akal sebagai kita melepaskan kuda di tengah padang, untuk merajalela disekitar lapangan”.[23]

 Perdebatan Negara Islam

Ahmad Suhelmi dalam bukunya mengatakan bahwa polemik mengenai hubungan negara dan Islam muncul akibat tulisan Soekarno di Panji Islam tahun 1940 berjudul “Apa Sebab Turki Memisah Agama dari Negara”. Namun sebelumnya Soekarno menulis sebuah ikhtisar penting dalam melihat permasalahan ini, tulisan tersebut berjudul “Me-Muda-Kan Pengertian Islam”. Dia memulai bahwa perlu kiranya “agama itu di her-orientatie, ditelaah, dikoreksi kembali, dipikirkan kembali, diijtihadkan kembali – dipermudakan”.[24] Tujuannya agar Islam bisa menyesuaikan doktrin-doktrim ke-Islaman dengan realitas-realitas yang dihadapi negara sekarang. Soekarno lalu membandingkan keadaan Islam di India, Arab dan Turki, sehabis membandingkan dia lalu mencontohkan Islam Turki sebagai sesuatu yang pas untuk diterapkan di Indonesia. Soekarno mengatakan bahwa di Turki agama negara dihapuskan, agama dijadikan urusan privat, bukan berarti Islam dihapuskan namun diserahkan kepada manusia-manusia Turki tersebut.

Selanjutnya pembahasan tentang relasi Islam dan negara didalami dalam artikel “Apa Sebab Turki Memisah Agama dari Negara”. Ada beberapa poin penting dalam pemikiran Soekarno atas relasi Islam dan negara dalam artikel ini (1) Islam harus dipisahkan dari negara (2) tidak ada konsep negara Islam (3) Islam tetap penting dalam domain kehidupan bukan kenegaraan. Dalam melihat pentingnya sekularisasi dilakukan dalam sebuah negara, Soekarno mengutip pernyataan Kemal yang provokatif, “saya merdekakan Islam dari ikatannya negara, agar Islam bukan tinggal agama yang memutar tasbih di dalam masjid saja, tetapi menjadilah suatu gerakan yang membawa kepada perubahan”.[25] Selanjutnya Soekarno berkomentar bahwa pemisahan agama dari negara akan membuat agama itu menjadi kuat dan pemisahan negara dari agama agar negara itu bisa menjadi kuat.[26] Apa yang dilakukan oleh Kemal ini menurut Soekarno menimbulkan pro dan kontra di kalangan umat Islam namun sejarah yang akan membuktikan dampak dari tindakan Kemal tersebut.

Tidak relevannya gagasan negara Islam menurut Soekarno juga karena gagasan ini bukan sesuatu yang diperintahkan dalam Islam. Menurutnya Nabi dulu hanya mendirikan satu agama saja bukan mendirikan negara berlandas agama, bukan pula kewajiban mendirikan satu pemerintahan khilafah atau satu kepala umat buat urusan-urusan negara.[27] Banyak ulama-ulama mengatakan bahwa tidak ada kewajiban untuk mendirikan negara agama. Selain dari pandangan historis, Soekarno mengkomparasikan beberapa negara-negara Barat dan negara jajahan kolonial yang memisahkan urusan agama dari negara. Dia mengatakan “terpisahnya negara dan agama bukan di Turki saja, di Belanda, Perancis, Jerman, belgia, Inggris, AS, di negara koloni juga Islam tidak ditangan negara … Islam di India tidak menjadi satu dengan negara India”.[28] Soekarno juga melihat bahwa realitas Indonesia yang heterogen membuat apabila Islam diterapkan secara ketat di dalam negara akan menciderai kemajemukan negara ini. Dikatakan olehnya “asas persatuan negara dan agama bagi negeri yang penduduknya tidak 100% Islam tidak bisa berbarengan dengan demokrasi. Buat negara demikian itu hanyalah dua alternatif: persatuan negara-agama, tetapi zonder demokrasi, atau demokrasi tetapi negara dipisahkan dari agama”.[29] Bila Islam diterima sebagai dasar negara ditakutkan akan terjadi perpecahan di kalangan rakyat Indonesia. Banyak daerah di Indonesia, yang tidak mayoritas Islam seperti Maluku, Bali, Flores, Sulawei Utara, Irian Barat (hal. 81).

Menanggapi pemikiran Soekarno tersebut, Natsir berpendapat bahwa agama tidak bisa dipisahkan dari negara. Islam harus menjadi landasan dari negara. Negara adalah alat untuk mewujudkan nilai-nilai Islam. Natsir berpegangan pada apa yang dikatakan Quran agar setiap orang yang beriman kepada Allah mengatur seluruh aspek kehidupan secara Islami. “Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhannya”. Lalu prinsip Islam lainnya yang menjadi pegangan Natsir sebagai seorang Islam yang taat, “Dan kami tidak menjadikan jin dan manusia, melainkan supaya mereka menyembah Aku”. Dari pemahaman ini menurut Syafii Maarif, Natsir ingin menjadi hamba Allah yang sepenuhnya, yakni hamba yang mencapai kejayaan dunia dan kemenangan akhirat.[30] Dengan begitu seorang muslim tidak bisa melepaskan keterlibatannya begitu saja dalam politik tanpa memberikan ruang bagi Islam.

Dalam berpolemik dengan Soekarno, Natsir mengkritik pandangan Soekarno yang gagal dalam menggambarkan negara Islam yang sesungguhnya. Menurut Soekarno, kekhalifahan Usmaniah terakhir di Turki adalah negara Islam tetapi menurut Natsir dinilai tidak mencerminkan negara Islam sebab pemerintahan ini membiarkan rakyatnya bodoh dengan memakai Islam dan segala ibadat-ibadatnya sebagai tameng belaka. Sebetulnya Islam dan negara tidak pernah bersatu seperti yang dikritik oleh Kemal dan Soekarno sehingga Islam mesti dipisahkan dari negara agar negara menjadi kuat. Natsir mengatakan “pemerintahan yang zalim dan bobrok seperti di Turki Bani Usman itu bukanlah contoh agama dan negara bersatu. Pemerintahan seperti itu tidak dapat diperbaiki dengan “memisahkan agama” daripadanya yang dikatakan oleh Ir. Soekarno, sebab memang agama sudah lama terpisah dari negara yang semacam itu” (hal. 71). Dalam polemik tentang negara Islam, ada sesuatu yang menarik dari pandangan Natsir, dia mengatakan bahwa dalam negara yang berisi nilai-nilai Islam, titel khalifah tidak menjadi syarat mutlak. Tapi yang menjadi utama adalah kepala negara yang memerintah sanggup bertindak bijaksana dan menerapkan peraturan-peraturan Islam dengan semestinya dalam dalam sebuah negara, dalam kaidah dan dalam praktik.

Apa yang ditakutkan oleh Natsir sebenarnya adalah apabila Islam dipisahkan dari urusan negara maka yang terjadi adalah hukum-hukum Islam ditinggalkan. Bagaimana undang-undang Islam dapat berlaku apabila tidak ada kekuasaan negara yang melaksanakan agar undang-undang itu bisa dijalankan. Negara diperlukan untuk menjalankan nilai-nilai Islam kepada masyarakat. Disini Natsir memahami bahwa lembaga negara adalah sebuah struktur yang sesuai untuk membantu menerapkan hukum-hukum Islam. Pendekatan ini berbeda dengan Soekarno yang lebih menekankan pada sosialisasi ajaran Islam di kalangan masyarakat (hal. 99).

Pada akhirnya polemik yang sehat diantara Soekarno dan Natsir ini berimplikasi pada proses pembentukan negara Indonesia selanjutnya. Sehingga sebenarnya pendirian negara ini didirikan atas diskursus-diskursus yang variatif, dari berbagai sisi dan elaboratif, bukan sebuah hasil pemaksaan antar golongan terhadap golongannya yang lain. Keputusan final yang diambil bahwa negara Indonesia apabila didirikan harus memberikan suatu hasil adil bagi semua rakyatnya merupakan sebuah pertimbangan yang jenius. Sumbangan terbesar dari perdebatan para pendiri negara ini merupakan sebuah “heritage pemikiran” yang mesti dirawat agar kita tidak pernah lupa raison d’etre negara ini.

Catatan: Tulisan ini pernah dimuat dalam Prisma edisi khusus Soekarno: Membongkar Sisi-Sisi Hidup Sang Putra Fajar (Prisma, No.2 & 3, 2013)

[1] Robert Elson, The Idea of Indonesia: A History (Cambridge: Cambridge University Press). Pendapat ini dikemukakan oleh Soepomo.

[2] Ulil Abshar Abdalla “Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam” http://islamlib.com/id/artikel/menyegarkan-kembali-pemahaman-islam (diakses 31 Maret 2013)

[3] Clifford Geertz, “Afterwords: The Politics of Meaning,” dalam Claire Holt (ed), Culture and Politics in Indonesia (Jakarta: Equinox, 2007), hal. 321.

[4] George McT. Kahin, Nationalism and Revolution in Indonesia (Ithaca: Cornell Southeast Asia Program Publications, 2003), hal. 306-307.

[5] Bernhard Dahm, Soekarno dan Perjuangan Kemerdekaan (Jakarta: LP3ES, 1987), hal. 57.

[6] Savitri Scherer, Keselarasan dan Kejanggalan: Pemikiran-Pemikiran Para Priyayi Nasionalis Jawa Awal Abad XX (Jakarta: Sinar Harapan, 1985), hal. 90.

[7] Takashi Shiraishi, Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926 (Jakarta: Grafiti, 1997), hal. 170.

[8] Soekarno, “Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme” dalam Soekarno, Di Bawah Bendera Revolusi (Jakarta: Panitia Penerbit Di Bawah Bendera Revolusi, 1964), hal. 3.

[9] Bernhard Dam, Soekarno dan Perjuangan…, hal. 77-79.

[10] Ben Anderson, “The Idea of Power in Javanese Culture,” dalam Claire Holt (ed), Culture and Politics…, hal.22.

[11] Onghokham, “Soekarno: Pemikir atau Politikus?,” “Kata Pengantar” untuk Bernhard Dahm, Soekarno dan Perjuangan Kemerdekaan. Taufik Abdullah, “Sebuah Klasik dan Sebuah Tragedi,” dalam Majalah Tempo, 10 Juni 2001.

[12] Berhard Dahm, Soekarno dan Perjuangan…, hal. 175.

[13] George McT. Kahin, Nationalism and Revolution…, hal. 91.

[14] Soekarno, “Surat-Surat Islam dari Endeh,” dalam Seokarno, Di Bawah Bendera…, hal. 327.

[15] Ibid, hal. 337.

[16] George McT, Kahin, “In Memorian: Mohammad Natsir (1907-1993),” Indonesia, No. 56 (1993), hal. 156-185.

[17] Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942 (Jakarta: LP3ES, 1982).

[18] Taufik Abdullah, “Modernization in Minangkabau World: West Sumatra in the Early Decades of Twentieth Century,” dalam Claire Holt (ed), Culture and Politics…, hal. 181

[19] Allan A. Samson, “Islam in Indonesian Politics,” Asian Survey 8, No. 12 (1968), hal 1001-1017.

[20] George McT. Kahin, “In Memoriam: Mohammad Natsir…,” hal. 160.

[21] Ibid, pengakuan Natsir kepada Kahin.

[22] Luthfi Assyaukanie, Ideologi Islam dan Utopia: Tiga Model Negara Demokrasi di Indonesia (Jakarta: Freedom Institute, 2011), hal. 39.

[23] Moh. Natsir, “Sikap Islam Terhadap Kemerdekaan Berpikir,” dalam Moh. Natsir, Capita Selecta (Jakarta: Bulan Bintang, 1973).

[24] Soekarno, “Me-Muda-Kan Pengertian Islam” dalam Soekarno, Di Bawah Bendera…, hal. 372.

[25] Soekarno, “ Apa Sebab Turki Memisah Agama dari Negara,” dalam Soekarno, Di Bawah Bendera…, hal. 405.

[26] Ibid, hal. 406.

[27] Ibid.

[28] Ibid, hal. 407.

[29] Soekarno “Saya Kurang Dinamis” dalam Soekarno, Di Bawah Bendera…, hal. 452.

[30] Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Pancasila Sebagai Dasar Negara: Studi Tentang Perdebatan Dalam Konstituante (Jakarta: LP3ES 2006), hlm 130.

Leave a comment