Tiga Jalan Amir Sjarifuddin (Bagian 1)

Amir
Amir Sjarifuddin

Sepanjang 20 tahun hidup, 1928-1948, Amir membaktikan separuh hidupnya kepada politik. Dan untuk itu ia pun harus menempuh sepanjang labirin, untuk menemukan jalan keluar daripadanya. Namun tidak jarang harus menemui jalan buntu (Leclerc 2011a: 42).

Dalam kereta khusus yang berjalan ke arah Yogyakarta, seorang wartawan Antara berusaha mewawancarai seorang laki-laki sedang membaca Romeo and Juliet karangan Shakespeare. Pria yang berusaha diwawancarai tapi banyak diam itu bukan orang sembarangan. Dia adalah mantan Menteri Pertahanan dan Penerangan serta Perdana Menteri Indonesia, Amir Sjarifuddin. Bersama Soeripno dan Harjono, Amir tiba di Yogyakarta tanggal 5 Desember. Di stasiun, rakyat telah berjejal ingin melihat wajah Amir dari dekat. Amir dengan perasaan tenang melihat kerumunan itu, ia mungkin tahu bahwa hari-harinya tidak akan lama lagi.

Dengan ditangkapnya Amir Sjarifuddin dan Djokosoejono maka berakhirlah Peristiwa Madiun 1948 menurut Sayuti Melik (Poeze 2011: 272). Berakhir pula pengembaraan Amir menembus belantara dari Gunung Wilis dan Lawu sampai tiba di daerah Pati dan Purwodadi. Penangkapan Djokosoejono, Maruto Darusman, Sardjono di Desa Peringan dekat Purwodadi tanggal 28 November 1948 adalah awal mula dari tertangkapnya Amir Sjarifuddin. Dalam pengakuannya, Djokosoejono mengatakan “Amir terpisah hanya beberapa ratus meter darinya, tujuan mereka tidak ingin menyebrang ke daerah pendudukan Belanda namun hendak bergabung dengan pasukan Soediarto dan Soejoto” (Gie 1999: 261 dan Poeze 2011: 269).

Pada tanggal 29 November Amir tertangkap pasukan Senopati. Ketika ditangkap ia hanya memakai piyama, sarung dan tidak memakai sepatu. Kacamatanya telihat masih baik. Rambutnya gondrong dan tumbuh jenggot. Ia berjalan pincang, kelihatan kurus dan pucat akibat disentri yang menyerangnya selama pengembaraan (Poeze 2011: 269). Amir memang terbiasa menderita sebetulnya. Bukan karena ia miskin tapi karena jalan politik yang diambilnya. Pada masa Jepang ia menggalang pergerakan anti fasisme Jepang. Akibat tindakannya itu pemerintah Jepang begitu membencinya. Amir disiksa habis-habisan di penjara Lowokwaru, Malang. Giginya rusak akibat siksaan tersebut, tubuhnya digantung dengan posisi kepala dibawah (Leclerc 1982: 55).

Mengambil Jalan Politik

Amir lahir dari keluarga berada. Ayahnya merupakan jaksa publik senior. Klan Harahap yang menjadi trahnya adalah klan penguasa utama di daerah Tapanuli Selatan – kampung halamannya (Klinken 2010: 170). Amir mendapatkan gelar Soetan Goenoeng Soaloon. Namun tidak seperti saudaranya Soetan Goenoeng Mulia yang memakai gelar itu, Amir tegas menolaknya.

Ayahnya menyekolahkannya ke Belanda untuk tingkat SMP. Amir dikenal sebagai murid yang cerdas menguasai bahasa Yunani klasik, Latin, Prancis dan Inggris. Dia sudah aktif berorganisasi namun dia kalah mentereng dengan orang-orang di Perhimpunan Indonesia, karena ia terlalu muda. Setelah menamatkan sekolahnya pada tingkat SMA di Haarlem, Amir berada pada posisi yang dilematis, di satu sisi banyak temannya mendorong untuk melanjutkan studi di universitas Belanda. Namun, arahan keluarga memaksanya untuk pulang dan bersekolah di Sekolah Hukum Batavia akhir tahun 1927.

Awalnya Amir Sjarifuddin tingal di rumah Goenoeng Mulia yang waktu itu adalah anggota Volksraad. Sebentar saja tinggal disana, Amir kemudian pindah ke sebuah asrama di Jalan Kramat 106 mengikuti seniornya di sekolah hukum, Muhammad Yamin. Sama seperti Amir, Yamin adalah orang rantau berlatar belakang aristokrat Sumatera dan mereka mempunyai minat sama dalam hal politik, sastra, musik dan agama (Klinken 2010: 173). Pengetahuan politiknya sedikit banyak ditempa pada asrama Kramat 106 yang dikenal sebagai tempat berkumpulnya para intelektual muda yang progresif. Lewat PPPI (Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia) Amir bersama Abu Hanifah, kelak menjadi tokoh Masyumi, mengedit jurnal bernama Indonesia Raja.

Pada tahun 1928 Amir mengambil langkah penting dalam kegiatan politik. Amir menjadi salah satu organisator dari Kongres Pemuda 1928, saat itu usianya baru 21 tahun. Dalam kongres ini disepakatilah ide Yamin tentang konsepsi satu nusa, satu bangsa dan satu bahasa. Diiringi alunan lagu Indonesia Raya bersama itulah lahir generasi intelektual yang disebut generasi 28. Generasi 28 banyak mendapatkan inspirasi tentang pergerakan politik dari Perhimpunan Indonesia (PI) Hatta di Belanda. Menurut Robert Elson “PI memberikan pengaruh kuatnya pada pemikiran politik di Hindia, yang menyebabkan organisasi rakyat di tanah air menggunakan haluan politik PI” (Elson 2009: 69). Hatta pada pidato pelantikannya sebagai ketua PI tahun 1926 menyeru bahwa “imperialisme Barat mesti disudahi untuk kepentingan kemanusiaan dan tiap-tiap bangsa terjajah mempunyai kewajiban untuk memerdekakan dirinya dari penjajahan” (Hatta 2011: 260).

Jacques Leclerc menulis bahwa garis politik Amir Sjarifuddin ditandai tiga tujuan: nasionalisme, demokrasi dan sosialisme (Leclerc 1982: 61). Fase nasionalisme dimulai saat dia berpartisipasi pada Kongres Pemuda kemudian saat bergabung dengan Partindo, organisasi penerus PNI. Tahun 1931 dia menjadi wakil ketua cabang Jakarta.

Partindo senapas dengan prinsip-prinsip yang dimanifestasikan oleh Manifesto Politik PI dan Sumpah Pemuda 1928 yaitu Persatuan Indonesia. Politik Partindo menurut Leclerc menyatakan identitasnya dengan menolak bekerja sama dengan pemerintah Belanda, khususnya dalam penampikan kursi di dalam pemerintahan Belanda (Leclerc 1982: 61). Garis politik Partindo ini ditampilkan oleh Amir saat mengkritik Hatta yang menerima nominasi untuk masuk dalam Parlemen Belanda. “Kemerdekaan Indonesia hanya bisa dicapai melalui aksi massa bukan melalui saluran-saluran politik Belanda” sahut Amir (Klinken 2010: 185). Amir menambahkan bahwa masuk parlemen Belanda sama saja dengan tunduk kepada Belanda. Dalam memoirnya Hatta menyinggung anarkisme Partindo ini, walaupun pada akhirnya ia tidak jadi masuk parlemen dia bersikukuh bahwa non-kooperasi tidak bertentangan dengan parlementarisme (Hatta 2011: 57). Tetapi, Soekarno tetap menyerang Hatta dengan berapi-api. Soekarno mengatakan bahwa non-kooperasi yang prinsipil menolak di dalam asasnya kursi-kursi dimanapun baik di Volksraad, Staten Generaal, di Volkenbond.

Sikap Amir yang radikal dipandang berbahaya oleh pemerintah Belanda. Dia dipandang sebagai revolusioner, seorang orator berbakat yang dapat memukau publik dalam laporan seorang penasihat Gubernur Jenderal De Jonge, G. F Pijper. Dalam pandangan Gubernur Jawa Barat Amir Sjarifuddin dilihat lebih berbahaya dibanding Moh. Yamin, menurutnya “Amir memang terlahir sebagai pemimpin, seorang agitator yang berbahaya … di masa depan dia akan menjadi salah satu tokoh yang paling penting diantara para tokoh utama dalam aksi-aksi ekstrimis” (Klinken 2010: 188). Pada akhirnya tahun 1933 Gubernur Jenderal De Jonge menginstruksikan untuk menekan Partindo, PNI Hatta, PSII, dan Permi yang dinilai membahayakan oleh pemerintah. Tokoh-tokoh politik Indonesia kemudian ditangkapi satu per satu. Dimulai dari Soekarno pada Agustus 1933. Kemudian Amir Sjarifuddin pada Desember 1933. Lalu Hatta dan Sjahrir pada Februari 1934. Amir dipenjara selama 18 bulan di penjara Salemba dan Sukamiskin. Selama dipenjara, Schepper, seorang misionaris sekaligus gurunya di Sekolah Hukum, hampir setiap hari membawakan Amir sebuah bibel.

Setelah keluar dari penjara, Amir tidak mempunyai pekerjaan tetap. Mula-mula dia bergabung bersama Moh. Yamin di firma hukumnya. Namun, baru sebentar mereka berselisih paham karena masalah pembagian kerja dan pembagian hasil. Kantor hukum ini juga tidak menghasilkan uang karena klien yang dibela kebanyakan para korban penindasan politik yang tidak punya uang. Pada tahun 1936 bersama Moh. Yamin, Liem Koen Hian dan Sanusi Pane, Amir Sjarifuddin menerbitkan harian Kebangoenan. Di harian inilah Amir banyak menulis tentang isu-isu demokrasi. Dalam artikelnya tahun 1937 “Pledoi dalam Perkara Indonesia Muda” dia menulis tentang hak kebebasan berserikat. Kemudian dalam artikelnya “Pemandangan Luar Negeri” (1938-1941) dia sering membahas soal situasi politik dunia. Amir Sjarifuddin melihat bahwa dunia pada tahun 1936 tidak terbagi dalam suatu blok Timur melawan blok Barat, namun antara kelompok fasis melawan kelompok demokratis (Leclerc 1982: 63). Tesis ini berdasar dari perang saudara yang meletus di Spanyol tahun 1936.

Lebih lanjut lagi Amir menyoroti tentang keadaan demokrasi di Indonesia. Amir memandang bahwa darimana pun asal etnis seseorang tidak mempengaruhi jalannya pergerakan asal mau berjuang demi kedaulatan rakyat Indonesia dan terbentuknya demokrasi di Indonesia. Pemberian hak-hak politik yang setara dan partisipasi politik dari seluruh masyarakat Indonesia setidaknya mesti diberikan oleh Belanda (Klinken 2010: 185). Pemikiran-pemikiran Amir ini tidak jauh banyak berbeda dari organisasi yang didirikan bersama-sama dengan tokoh-tokoh kiri seperti Sartono, A.K Gani, Wikana dan Moh. Yamin, bernama Gerindo pada April 1937. Banyak anggota Partindo yang telah bubar dan kelompok PKI bawah tanah serta PARI menggabungkan diri dalam Gerindo sehingga partai ini menjadi sayap baru pergerakan kiri di Indonesia.

Gerindo memang menanggalkan taktik non-kooperasi dan bersedia berkerjasama dengan memasuki saluran-saluran politik Belanda. Gerindo sadar dengan situasi politik dunia yang sedang dalam bahaya akibat militansi gerakan fasisme yang ingin menaklukan dunia. Mereka yakin bahwa pencapaian jangka panjang dari kemerdekaan Indonesia memerlukan solidaritas sementara pada Belanda untuk membela Indonesia dari ancaman fasisme Jepang (Kahin 1995: 123). Oleh sebab itu, Gerindo mendesak Belanda agar mendemokratisasi lembaga-lembaga dan dibentuknya Dewan Perwakilan yang sesungguhnya (Leclerc 2011b: 27).

Amir mengambil tampuk pimpinan Gerindo pada tahun 1939. Amir mengusulkan bahwa dalam pergerakan, Gerindo mesti mendefinisikan kembali istilah orang Indonesia sebagai istilah “politik yang dinamis” yang ditentukan bukan dengan darah melainkan oleh cita-cita bersama, nasib bersama dan keinginan bersama untuk mengejar cita-cita itu (Klinken 2010: 195). Pada Mei 1939, Gerindo bersama dengan partai-partai lain bergabung dalam Gabungan Politik Indonesia (GAPI) lewat semboyannya “Indonesia Berparlemen”. GAPI yang merupakan inisiatif dari Thamrin mempunyai tiga kekuatan penyokong, yaitu Thamrin dari Parindra yang mewakili kelompok kanan sekuler, Amir Sjarifuddin dari Gerindo yang mewakili kelompok kiri dan Abikusno dari PSII yang mewakili golongan Islam. Trio Thamrin-Amir Sjarifuddin-Abikusno lalu menjadi corong dari gerakan nasional.

Kemesraan GAPI tidak berlangsung lama akibat konflik yang terjadi di dalamnya juga faktor eksternal, yaitu semakin menguatnya pengaruh Jepang dalam perang. Invasi Jepang yang semakin meluas di Asia membuat pemerintah Belanda khawatir. Setelah meletus Perang Pasifik tahun 1941, Gubernur Jawa Timur, Van der Plas, menemui Amir untuk membuat sebuah organisasi gerakan bawah tanah melawan Jepang yang didanainya sebesar 25.000 gulden. Amir Sjarifuddin melihat fasisme Jepang merupakan kanker yang mengancam pembentukan demokrasi di Indonesia. Saat Jepang menginvasi pulau-pulau terluar di Indonesia, Amir mencela Jepang yang eksploitatif dan menyerukan rakyat untuk mempertahankan “negara kita” melawan “musuh” (Klinken 2010: 207).

Barangkali dalam gerakan bawah tanah modal Amir Sjarifuddin hanyalah dua, menurut Soe Hok Gie, yaitu (1) mengandalkan hubungannya dengan pemimpin rakyat Indonesia (2) mengandalkan kelompok pengikutnya yang setia dari Gerindo (Gie 1999: 42). Amir mencoba mengajak Sjahrir yang saat itu juga terkenal di kalangan pemuda Indonesia, namun Sjahrir menolak ide yang dilontarkan Amir mengenai gerakan bawah tanahnya. Akhirnya mereka jalan sendiri-sendiri tetapi dalam ide besar yang sama, yaitu melawan fasisme Jepang. Menurut George Kahin ada empat kelompok utama gerakan bawah tanah melawan Jepang (1) gerakan bawah tanah yang dipimpin Sjahrir dan mengembangkan gerakannya di Jakarta, Garut, Cirebon, Semarang dan Surabaya (2) kelompok Persatuan Mahasiswa terdiri dari mahasiswa kedokteran di Jakarta (3) kelompok Sukarni dan didalamnya terdapat Adam Malik, Wiguna, Chaerul Saleh dan Maruto Nitimiharjo (4) kelompok Amir Sjarifuddin yang mempunyai basis massa yang sangat besar di kalangan pergerakan kiri (Kahin 1995: 141-3).

Jepang yang membaca perlawanan-perlawanan ini membalas dengan merusak sel jaringan gerakan bawah tanah tersebut. Ben Anderson mengatakan bahwa gerakan pemuda pada masa Jepang tidak terorganisir dengan baik kalau tidak menyebutnya dalam keadaan disintegrasi (Anderson, 1972). Menurut Soe Hok Gie, sejak September 1942 penangkapan mulai dilakukan, dengan metode penyiksaan beberapa jaringan mulai terungkap salah satunya jaringan Amir Sjarifuddin (Gie 1999: 1942). Februari 1943 Amir bersama 300 pengikutnya ditangkap. Kemudian dia dijatuhi hukuman mati bersama Pamudji, Sukajat, Abdulrachim dan Abdulasis. Hatta yang diberitahu Mulia mengenai kabar ini lalu memohon agar Hatta melobi pemerintah Jepang. Hatta lalu menemui Soekarno untuk menemui Letjen Nagano, Panglima tertinggi Jepang di Jawa, mereka lalu mengatakan bahwa Amir merupakan pemimpin rakyat, bila ia dihukum mati maka akan menimbulkan gejolak di kalangan gerakan bawah tanah. Hukuman Amir lalu dikurangi hanya menjadi hukuman seumur hidup.

Mengambil Jalan Pemerintahan

Sehabis ditangkap Amir dibawa ke penjara Lowokawaru di daerah Malang. Disana dia dianiaya oleh serdadu Jepang. Mendengar kabar bahwa Amir Sjarifuddin dipenjara disana, para pemuda lalu berencana membebaskan tokoh kharismatis ini. Gerakan mengepung penjara ini diikuti oleh gerakan narapidana di dalam penjara melucuti senjata-senjata Jepang. Amir akhirnya bebas dan di depan para pemuda dia berteriak “Hidup Rakyat Indonesia, “Hidup Revolusi Indonesia”, “Hidup Pemuda Harapan Bangsa” dan “Merdeka atau Mati” (Leclerc 1982: 56).

Setelah Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya, Soekarno dan Hatta akhirnya menjabat sebagai Presiden dan Wakil Presiden pertama Indonesia. Soekarno-Hatta lalu membentuk kabinet pertama Indonesia dan menunjuk Amir Sjarifuddin menjadi Menteri Penerangan. Penunjukkan ini dilatari bahwa Soekarno telah mengenal sepak terjang Amir sebagai ahli propaganda sejak di Partindo. Amir Sjarifuddin akhirnya mengambil jalan pemerintahan. Jacques Leclerc menganggap bahwa dengan dimasukkannya Amir yang merupakan pejuang anti Jepang ke dalam kabinet, Soekarno ingin menegaskan bahwa pemerintahan Indonesia bukan boneka Jepang.

Dalam politik Indonesia sejak zaman pergerakan dikenal konsep dwitunggal. Ada dwitunggal Hatta-Sjahrir selama masa pergerakan mereka di Belanda dan di PNI baru, Soekarno-Amir dengan hubungan yang agak bias di Partindo, lalu yang paling terkenal ialah Soekarno-Hatta selama masa kolonialisme akhir dan pendudukan Jepang. Jika Soekarno-Hatta dianggap mewakili golongan tua maka Sjahrir-Amir dianggap mewakili golongan pemuda. Dwitunggal ini pada masa revolusi awal lebih banyak memainkan peranan penting daripada dwitunggal Soekarno-Hatta dalam pemerintahan. Saat Sjahrir menjabat Perdana Menteri pertama Indonesia, Amir diberikan posisi strategis sebagai Menteri Pertahanan. Walaupun sebenarnya Amir termasuk orang yang tidak begitu ahli tentang masalah pertahanan negara. Namun, posisi ini dianggap banyak pihak sebagai posisi kuat kedua setelah posisi Sjahrir sebagai PM dan Menteri Luar Negeri.

Dwitunggal Sjahrir-Amir juga meleburkan dua organisasi yang dipimpin mereka, yaitu Partai Rakyat Sosialis (Paras) yang dipimpin Sjahrir dan Partai Sosialis Indonesia (Parsi) yang dipimpin oleh Amir Sjarifuddin. Kedua partai ini melebur menjadi Partai Sosialis (PS). Dalam PS terbagi dua grup yaitu grup Amir dan grup Sjahrir. Grup Amir berisi orang-orang dari Gerindo, PKI ilegal/grup Surabaya dan lebih kiri daripada grup Sjahrir. Meskipun dua partai berfusi namun masing-masing grup mempunyai tujuan-tujuan sendiri. Persatuan mereka hanya didasarkan pada sikap anti fasis dan menghadapi Tan Malaka dengan Persatuan Perjuangannya (Gie 1999: 79). Partai ini mempunyai payung yang sama yaitu sosialisme, pada tahap inilah dalam pikiran Amir Sjarifuddin dan juga para tokoh lain untuk memakai sosialisme sebagai kosakata baru menggantikan nasionalisme. Partai ini bukan lagi tampak seperti partai pemerintah tapi “partai milik pemerintah” dalam arus revolusi (Leclerc 2011c: 164).

Menurut Onghokham, revolusi biasanya terjadi di mana pemerintah atau rezim berada dalam keadaan lemah atau sedang mengalami disintegrasi dan masyarakat atau elemen-elemen sosial di dalamnya mendapatkan kesempatan untuk mencoba mendirikan tatanan masyarakat dan negara baru (Onghokham 2009: 121). Di Indonesia keadaannya merupakan perimbangan antara yang pertama dan kedua. Memang ada anggapan dari para tokoh pemerintahan Soekarno-Hatta dan Sjahrir-Amir bahwa Tan Malaka bersama Persatuan Perjuangan (PP) berusaha menggoyang berdirinya republik. Tan Malaka mengolok-olok pemerintah yang menjalankan kompromi kepada Belanda. Perjuangan dengan diplomasi sama saja memberikan konsesi kepada Belanda. Oleh sebab itu maka PP menjalankan prinsip politik perjuangan 100%, bahwa kemerdekaan yang harus didapat oleh Indonesia harus 100% tidak setengah-setengah. Tan Malaka menganggap bahwa lingkaran pemerintahan Soekarno-Hatta-Sjahrir-Amir merupakan borjuis kolaborator kelas teri. Pemerintahan Sjahrir dan keyakinan Amir bersikukuh bahwa dalam revolusi tidak mesti selalu menjalankan aksi kekerasan, politik revolusi adalah diplomasi. Indonesia harus bisa mendapatkan dukungan dari dunia jika tidak maka perjuangan untuk melawan Belanda akan lebih berat.

Kekuatan PP yang terdiri dari 141 organisasi menarik perhatian Soedirman. Soedirman setuju dengan politik anti kopromi PP; kemerdekaan harus didapat 100%. Pada bulan April ia menginstruksikan tentara berpuasa tiga hari (14-16 April 1946) untuk mendukung ide PP (Gie 1999: 104). Aksi-aksi penahanan atas pucuk pimpinan PP kemudian dilakukan pemerintah, Tan Malaka, Soekarni, Yamin, Chaerul Saleh kemudian ditahan. Pemerintah melalui Amir Sjarifuddin memberikan pernyataan bahwa pemerintah akan memberikan tindakan keras pada golongan (1) menyiarkan atau melalukan perbuatan yang menggelisahkan dan mengacaukan masyarakat (2) menyiarkan atau melakukan perbuatan dengan maksud mengadu domba (3) menghambat usaha menyempurnakan pertahanan negara (Poeze 2009: 2). Selain oposisi di Jawa, di berbagai daerah terjadi revolusi sosial yang menyatakan diri bersimpati pada gerakan PP, salah satunya yang terjadi di Karesidenan Pantai Timur Sumatera. Dalam meredakan ketegangan itu Amir Sjarifuddin berpidato di Medan bahwa penahanan yang terjadi di Jawa untuk mendukung jalannya pemerintahan. Dua bulan kemudian, Amir menekankan pendiriannya ini di depan Kongres Pemuda ke-2 di Yogyakarta, ia berseru “pemuda harus meneruskan revolusi yang telah mereka mulai dan tidak membiarkan jatuh ke tangan calo-calo politik” (Leclerc 2011a: 68).

Amir sudah menyangka bahwa situasi yang semakin panas pada suatu hari akan menimbulkan gesekan yang mengancam nyawanya. Dalam sejarah Indonesia, penculikan adalah metode yang digunakan dalam keadaan dua kubu yang saling berkonfrontasi. Dugaan Amir memang benar bahwa akan ada aksi terhadap dirinya, Sjahrir, Soekarno dan Hatta. Pada pukul sepuluh pagi 28 Juni 1946, Sjahrir yang ditunggu tidak jua muncul dalam sidang kabinet. Desas-desus tentang ketidakhadiran Sjahrir menghembuskan isu bahwa Sjahrir diculik. Hari itu juga Soekarno dan Amir atas nama dewan menteri menandatangani dokumen bahwa negara dalam keadaan darurat perang (Poeze 2009: 111). Soekarno lalu mengambil alih kendali pemerintahan dalam situasi genting lantas berpidato menyeru “kepada seluruh rakyat yang berpikiran sehat, saya ikut minta usaha untuk mengembalikan PM Sjahrir…menyatakan perbedaan paham dengan tajam, mengadakan kritik peda terhadap pemerintah boleh, tetapi penculikan seperti ini hanya menurunkan derajat negara dimata dunia, merobek-robek emblem kekuasaan negara” (Poeze 2009: 126).

Kelompok Tan Malaka dituding bertanggung jawab terhadap peristiwa ini. Amir ditugasi untuk menyusun daftar kelompok komplotan anti-pemerintah. Daftar ini akan disodorkan kepada kabinet dan selanjutnya Soekarno akan menandatanganinya (Poeze 2009: 132). Pengawalan terhadap tokoh penting seperti Soekarno-Hatta-Amir-Sjahrir kemudian diperkuat. Pada tanggal 2 Juli diadakan suatu rencana untuk membentuk kabinet baru oleh Soedarsono yang ditemani Yamin menghadap Soekarno. Ia mendesak agar kabinet Sjahrir dibubarkan dan dibentuk kabinet baru yang diketuai Tan Malaka, serta pemindahan kekuasaan militer tertinggi dari Soekarno kepada Soedirman (Kahin 1995: 240). Di hari yang sama, di Solo, terjadi aksi ingin menculik Amir Sjarifuddin namun gagal karena perlawanan dari pengawal Amir. Amir selamat dalam penyerangan ini tetapi dua pengawalnya tewas. Pemerintah yang geram lalu mengadakan aksi penahanan terhadap para pendukung PP ini. Kegagalan peristiwa 3 Juli ini menandakan berakhirnya oposisi dari PP.

Berakhir masalah dengan PP timbul masalah baru atas konflik dengan Belanda yang masih menginginkan untuk menguasai republik. Belanda mengajukan kontrak untuk menyelesaikan masalah dengan Indonesia. Perjanjian Linggarjati yang diwakili oleh Sjahrir (Partai Sosialis) dan Prof Schermerhorn (Partai Buruh Belanda) kemudian menghasilkan butir-butir kesepakatan antara lain kekuasaan Indonesia dipersempit menjadi Jawa, Madura dan Sumatera, Pemerintah Indonesia dan Belanda akan membentuk Republik Indonesia Serikat terdiri dari Negara Kalimantan, Negara Indonesia Timur dan Republik Indonesia serta akan dibentuk Uni Indonesia-Belanda. Perjanjian ini menimbulkan pertentangan di kalangan sayap kiri. Amir awalnya mendukung upaya Sjahrir dalam meja diplomasi namun belakangan mencabut dukungan dan bersama Tan Ling Djie dan Abdulmadjid menyerang Sjahrir. Sjahrir yang merasa dikecewakan Amir dan Abdulmadjid yang notabene satu payung dalam PS akhirnya mundur dari jabatan PM dan memberikan mandat kepada presiden (bersambung)

Leave a comment