Melampaui Perang Dingin: Akar Sejarah Konferensi Asia Afrika

Berlangsungnya peringatan KAA di Bandung kemarin mengingatkan kembali sebuah momen historis yang pernah Indonesia berhasil selenggarakan. Sebuah konferensi bersejarah pertama di dunia yang menggalang tokoh Asia dan Afrika untuk membicarakan persoalan dunia melampaui dua visi blok besar yang bertikai saat itu: Barat dan Timur.

KAA diselenggarakan ketika Perang Dingin tengah berkecamuk. Dorongan terbesar dari munculnya konferensi ini lahir dari kegelisahan atas krisis yang ditimbulkan Perang Dingin. Saat itu terjadi perang yang melibatkan dua blok besar di Vietnam, Korea dan Taiwan. Masih adanya intervensi militer serta politik di negara-negara yang berjuang untuk merdeka menjadi keprihatinan tersendiri dari negara-negara inisiator KAA. Kolonialisme dari negara-negara Eropa yang masih kuat mencengkram bumi Afrika juga menjadi keprihatinan mereka.

Imperialisme dan kolonialisme adalah persoalan utama dari munculnya KAA. Sebab dua hal ini menciptakan kondisi dunia yang timpang, tidak adil dan hierarkis. Menciptakan tatanan internasional yang lebih humanis, setara dan menjunjung tinggi perdamaian adalah cita-cita besar dibalik lahirnya KAA. Spirit untuk memperjuangkan pemikiran ini sebetulnya telah diperjuangkan sejak lama oleh negara-negara kolonial di Asia dan Afrika semenjak mereka masih di bawah sistem imperialisme Eropa.

KAA memang muncul ketika Perang Dingin. Tapi akar sejarahnya telah terbangun sejak awal abad ke-20. Lewat koneksi yang terbentuk dari jaringan gerakan anti-kolonialisme dan anti-imperialisme di Asia dan Afrika. Yang merasa tersatukan oleh cita-cita perjuangan yang sama. Mengakhiri sistem imperialisme Eropa dan mendepak kolonialisme dari tanah kelahiran mereka.

Terbentuknya jaringan gerakan anti-kolonialisme/anti-imperialisme antara sesama negara jajahan didorong oleh kesadaran bahwa menjalin kerjasama antar negara jajahan begitu penting. Untuk mendorong terciptanya sebuah letusan perlawanan anti-imperialisme global. Tapi proses ini tidak mudah dan dibangun oleh sebuah episode panjang dan berliku-liku.

Pada awalnya, meletusnya Perang Dunia I yang meruntuhkan kedigdayaan sebagian negara Eropa menyadarkan negara jajahan bahwa superioritas Eropa adalah mitos. Ketika Eropa sedang mengalami krisis, mereka berpikir bahwa sudah saatnya dunia bersandar pada sistem yang lebih adil dan humanis. Tapi gerakan perlawanan terhadap kolonialisme masih berjalan sendiri-sendiri. Disamping itu, gerakan anti-kolonialisme masih belum merata dan belum menjadi sebuah perlawanan yang besar dan masif.

Munculnya Revolusi Bolshevik pada tahun 1917 mengubah lanskap pergerakan anti-kolonial di negara-negara jajahan. Spirit anti-imperialisme dan visi alternatif tentang dunia baru yang lebih setara dan tanpa penindasan mendorong masuknya secara pesat ideologi komunis dalam pergerakan nasionalisme di tanah jajahan.

Secara global pengaruh komunisme pun begitu besar terhadap gerakan imperialisme di Asia-Afrika. Sebab mereka menginginkan terbentuknya aliansi antara Rusia dan gerakan anti-imperialisme kolonial. Rusia mencita-citakan terbentuknya sebuah aliansi gerakan kelas pekerja proletariat global. Masalah inilah yang menjadi satu bahasan pembicaraan ketika Komintern menyelenggarakan dua konferensi penting di tahun 1920 yaitu, Konferensi Komintern Kedua di Moscow dan Kongres Orang Timur di Baku

Pada awalnya, gerakan anti-kolonial yang bernafaskan nasionalisme tidak mau bekerjasama dengan komunisme. Namun, seperti yang dikatakan Jawaharlal Nehru “kecenderungan gerakan nasionalis Asia untuk mengikuti bekerjasama dengan komunisme tergantung pada sejauh mana impuls anti kolonial berakar mereka diabaikan oleh Barat”. Mereka pada awalnya menaruh harapan besar kepada apa yang disebut Erez Manela, sebagai ‘momen Wilsonian’, yaitu ide-ide dari Woodrow Wilson tentang self-determination dan equality among the nations.

Meletakkan harapan tinggi pada retorika Wilson, gerakan anti-kolonialisme begitu kecewa ketika ide penentuan nasib sendiri dunia kolonial tidak dibicarakan pada Konferensi Perdamaian di Paris tahun 1919. Momen Wilsonian akhirnya kolaps ketika Liga Bangsa-Bangsa yang baru didirikan dianggap tidak lebih dari status quo untuk melegitimasi dominasi Barat atas dunia kolonial.

Inilah yang menjadi alasan mengapa para tokoh pergerakan Asia-Afrika mencari sebuah institusi tandingan yang setara. Pada masa interwar (periode diantara setelah berakhirnya Perang Dunia I dan dimulainya Perang Dunia II), Comintern adalah organisasi yang begitu bersemangat untuk mempertemukan para pemimpin dari dunia kolonial dengan gerakan buruh dan sosialis internasional. Di samping itu, kontak-kontak dan relasi-relasi telah mulai terbentuk antara para pemimpin Asia-Afrika, terutama yang berada di daerah metropole (kota metropolitan pusat utama negara-negara Eropa). Jaringan ini mulai terbentuk diperkuat oleh pertemuan-pertemuan kecil ataupun konferensi yang diadakan di Eropa.

Jaringan-jaringan inilah yang kemudian dipertemukan oleh sebuah pertemuan monumental, yaitu Konferensi Liga Anti Imperialisme dan Penindasan Kolonial di Brussels tahun 1927. Soekarno dalam pidato pembukaannya di Bandung berjudul “Let a New Asia and a New Africa Be Born” mengenang Brussels 1927 sebagai sebuah milestone dari perjuangan anti-kolonialisme Asia-Afrika. Soekarno mengatakan “pada konperensi itu (Brussels) banyak diantara anggota delegasi yang terhormat, yang kini hadir di sini, saling bertemu dan mendapat kekuatan baru untuk bekal dalam perjuangan kemerdekaannya”.

Pada Konferensi Brussels inilah untuk pertama kalinya para pemimpin masa depan Asia-Afrika berkenalan dan berdiskusi tentang isu-isu terkait imperialisme di negara asalnya. Para peraih nobel Romain Rolland dan Albert Einstein bersama dengan Soong Ching-Ling, janda dari pendiri Kuomintang Sun Yat-Sen dan George Lansbury, seorang teosofis dan tokoh Partai Buruh Inggris menjadi patron dari konferensi ini. Total sekitar 174 delegasi mewakili 134 organisasi, partai politik atau asosisasi di 34 negara.

Pada pertemuan inilah Hatta dan Nehru pertama kalinya mengadakan kontak. Hatta mengatakan dalam tulisannya di Indonesia Merdeka “tidak pernah sebelumnya dunia melihat konferensi seperti ini diselenggarakan”. Nehru sendiri begitu terpengaruh dengan konferensi ini, dia mengatakan bahwa “Brussels membantu dirinya untuk memahami problem-problem kolonial dan negara yang dependen”. Kemudian dia mengakui bahwa Brussels memberikan inspirasi bahwa kontak “terhadap bermacam-macam gerakan anti-kolonial akan mendorong terciptanya pemahaman yang lebih baik terhadap problem dan kesulitan masing-masing serta akan mempererat hubungan yang akan membawa kesukseskan bagi semua”. Disinilah pertama kalinya dia mempunyai ide untuk membentuk sebuah “Federasi Asiatik”.

Ide tentang terbentuknya federasi Asia dan jaringan yang sudah terjalin antara negara-negara kolonial inilah yang memuluskan langkah Nehru untuk menyelenggarakan Asian Relations Conference di New Delhi tahun 1947. Bagi para sejarawan konferensi ini adalah langkah penting pembangunan kerjasama negara-negara Asia yang nanti muncul kembali pada periode Perang Dingin di bawah nama “Colombo Power” yang merupakan inisiator dibelakang penyelenggaran KAA.

Relasi yang sudah lama terjalin di bawah payung pergerakan global anti-kolonialisme dan anti-imperialisme inilah yang memudahkan negara-negara Asia-Afrika untuk berkumpul kembali di Bandung. Mendiskusikan isu-isu yang begitu dekat dan diperjuangkan mereka sejak mereka berada di bawah penindasan sistem imperialisme Eropa.

Leave a comment